Kalimat di atas tentu sudah sering kita dengar; mungkin dengan berbagai variasinya, seperti "You are what you do/think/speak/eat". Apakah Anda setuju dengan pernyataan ini? Jati diri kita memang dapat terpancar dari yang kita tampakkan, baik itu dari cara kita bertindak, berucap, kebiasaan makan ataupun cara kita berpakaian. Hal ini kadang terjadi tanpa kita sadari karena itu sudah menjadi kebiasaan. Seperti adagium yang sudah jamak kita ketahui juga, yaitu apa yang kita lakukan sehari-hari akan menjadi kebiasaan; kebiasaan ini akan menjadi karakter; dan karakter kita juga bisa menentukan nasib kita. Karenanya, kita perlu berhati-hati dalam memutuskan apa yang kita lakukan, ucapkan, dan kenakan sebab semua itu akan mempengaruhi banyak hal dalam kehidupan kita. Konsep ini perlu kita ajarkan kepada anak-anak kita sedari dini. Di kelas 5, konsep ini diperkenalkan dalam tema "How We Express Ourselves/Cara Mengekspresikan Diri". Sebagai pancingan untuk anak-anak, kamipun mengenakan bermacam-macam busana yang mewakili beberapa alasan seseorang untuk berpakaian. Ada yang mengenakan busana muslim serba hitam lengkap dengan cadarnya; ada yang memakai pakaian dengan motif tradisional; dan seorang guru lain berdandan ala "emo". Sementara saya, memilih baju pendaki, lengkap dengan ranselnya. Di hadapan mereka, kami meminta mereka mengungkapkan pemikiran mereka, jika bertemu orang-orang dengan pakaian semacam itu, apa yang ada di pikiran mereka? Tak disangka-sangka, seorang anak laki-laki menunjuk guru yang berbusana muslim serba hitam,"Ms Elok seperti teroris!" Alih-alih memasang raut muka kaget, kami justru menanyakan apa alasannya, "Karena ibu kelihatan seperti [pemeluk] Islam garis keras." Kami tidak menyanggah ataupun membetulkan karena dalam tahap pembelajaran ini, kami ingin siswa menyampaikan pemahaman mereka. Selanjutnya, seorang anak yang lain berkata, "Ms Wini [yang memakai emo style] seperti misterius dan suka musik rock", dan seterusnya para siswa menebak karakter yang kami tampilkan. Setelah mereka mengemukakan pendapat masing-masing, kamipun terus memberi pertanyaan-pertanyaan pancingan lain, seperti, "Jika ada kejadian pencurian, siapa yang paling dicurigai? Jika diajak oleh orang-orang ini, kira-kira kemana mereka akan membawamu?" hingga pertanyaan terakhir, "Apa yang mendasari kami berpakaian seperti ini?" Barulah dengan berbekal jawaban mereka, kami menjelaskan bahwa banyak alasan yang mendasari seseorang berbusana. Busana muslim serba hitam yang banyak dikenakan di daerah Timur Tengah, misalnya, tidak hanya menunjukkan identitas agama, tapi juga karena pengaruh daerah gurun yang panas dan berdebu. Sedangkan orang-orang dengan gaya emo tidak melulu berkarakter negatif. Meski mereka cenderung tertutup dan pesimis dalam memandang hidup, tidak semuanya pecandu obat terlarang; sebagian besar justru mereka kutu buku yang pintar. Sementara alasan lainnya adalah untuk menunjukkan profesi, budaya, dan juga hobi. "Bagaimana dengan kalian, gaya berbusana seperti apa yang ingin kalian pilih untuk menunjukkan jati dirimu?" pancing kami setelah menjelaskan. Mereka pun berkelompok sesuai pilihan masing-masing. Dalam kelompok kecil itu, mereka mendiskusikan alasan mengapa mereka memilih gaya tertentu. Hasil diskusinya cukup membuat kami terkesan. Anak-anak yang memilih pakaian hitam bercadar umumnya mengatakan bahwa mereka ingin melindungi diri dari kejahatan karena pakaian tersebut membuat mereka merasa aman. Sedangkan mereka yang memilih pakaian berdasarkan hobi punya alasan lain, "Kalau kami pakai baju yang menunjukkan hobi lalu di jalan kami bertemu dengan orang lain yang punya hobi sama, kita bisa kenalan terus kerja sama deh." Ada juga anak lelaki penggemar sepak bola yang berpendapat dengan memakai baju yang menunjukkan hobi bisa memudahkan kita mendapat pekerjaan yang sesuai hobi, karena calon perekrut kerja bisa melihat dari baju yang kita kenakan. Luar biasa ya, pemikiran anak-anak yang masih berusia 10 tahunan ini. Alhamdulillah tanpa kami banyak menjelaskan, mereka mulai menyadari bahwa pakaian yang mereka kenakan dan perilaku yang mereka tampilkan bisa menunjukkan identitas diri mereka. Saya sendiri berharap dengan dengan mengenalkan konsep ini, mereka bisa lebih siap dalam menghadapi masa remaja. Di masa pubertas mereka, insya Allah mereka tidak terlalu kebingungan menjalani proses pencarian jati diri karena mereka sudah mulai menyadari identitas dan karakter mereka.
0 Comments
Leave a Reply. |
AuthorNajib chooses a path to be an educator, just like two Indonesian prominent scholars whose names combined into his, which are Prof. Nurcholis Majid & Emha Ainun Najib. Had been teaching Primary level students in Ananda (2013-2015) & Al-Jabr Islamic School (2015-2018), he is currently pursuing his Master's degree in University College London, majoring Curriculum, Pedagogy and Assessment. ArchivesCategories |