Sekali coba apply beasiswa langsung lolos! Siapa yang ngga mau? Tapi kalau kalian berharap mendapatkan kiat mujarab dari artikel ini, siap-siap kecewa karena faktanya ini adalah cerita tentang kegagalan saya mendapatkan beasiswa sampai tujuh kali! Dulu saya sering mendeskripsikan diri sebagai orang yang beruntung. Dari zaman Aliyah/SMA, kerjaan saya di kelas lebih banyak tidur tapi alhamdulillah, sering dapat nilai bagus dan menang berbagai perlombaan. Waktu itu mungkin saya belum banyak dosa hingga saya berhasil lolos beasiswa penuh 4 tahun di Sampoerna School of Education (sekarang Sampoerna University) tanpa halangan berarti, bersama 88 orang lain yang terpilih dari 1200-an pendaftar. Ritme santai ini sedikit banyak terbawa sampai kuliah, di mana saya dikenal sebagai procrastinator akut, alias suka mengerjakan tugas di menit-menit terakhir. Yang lebih mengherankan lagi, dengan "laidback mode: on" ini saya terpilih jadi salah satu lulusan terbaik di kampus. Bukannya meragukan cara penentuan kategori ini, tapi saya justru semakin meyakini bahwa saya memang orang yang beruntung. Apalagi namanya, kan? Sebelum lulus, alhamdulillah saya sudah diterima mengajar di Ananda Islamic School, dan pada tahun kedua diangkat menjadi wakil kepsek bidang kurikulum. Lagi-lagi, saya geleng-geleng kepala! Perasaan, prestasi saya di sekolah juga nggak begitu spektakuler, bahkan masih banyak guru senior yang menurut saya lebih pantas menyandang amanah tersebut. Sungguh, saya bener-bener orang yang beruntung! Menjadi wakasek di usia 23 tahun mungkin sebuah hal yang diidamkan sebagian orang, tapi jujur, saat itu ada kerisauan dalam hati saya. Panggilan untuk bersekolah lagi begitu menggebu-gebu; terlebih, semenjak awal bekerja saya sudah berencana untuk lanjut S2 di tahun kedua. Tahun 2014 pun saya mulai mencari-cari beasiswa studi di luar negeri. Bukan memandang sebelah mata perguruan tinggi dalam negeri pasti, saya hanya ingin mendapatkan pengalaman yang lebih dengan merantau ke negeri seberang. Setelah memilah-milah, saya jatuh hati dengan program Erasmus Mundus, karena ia menawarkan program-program unik yang diambil di tiga universitas berbeda di negara-negara Eropa selama 2 tahun. Saya memilih program Special & Inclusive Education yang diajarkan di Inggris, Norway dan Ceko. Semua persyaratan pun saya lengkapi, dari mulai TOEFL iBT, personal statement sampai surat rekomendasi dari atasan dan dosen. Bahkan saya sampai mencari alumni program SIE dan meminta proofread surat motivasi saya. Melihat track record keberuntungan sedari dulu, saya cukup pede, "Tahun depan insya Allah saya kuliah di Eropa!" batin saya. Malang tak dapat ditolak, percobaan pertama gagal. Konsorsium beasiswa menilai saya belum memiliki pengalaman yang cukup untuk bidang pendidikan inklusif. Tercengang, pasti; kecewa sudah tentu. Apalagi biaya tes TOEFL iBT sudah menghabiskan satu bulan gaji. Yang saya lakukan waktu itu berefleksi, apa yang salah? Hingga akhirnya, saya menemukan quote di awal tulisan ini, "Luck is what happens when preparation meets opportunities." Definisi luck/keberuntungan saya salah kaprah ternyata. Memang saya sudah prepare, mempersiapkan semua persyaratan (walaupun saya kurang satu persiapan tervital: pengalaman bekerja di bidang target). Tapi saat itu, mungkin opportunity/kesempatannya belum dapat. Gagal dan tekor, apakah saya menyerah? Alhamdulillah tidak, setelah itu saya mencoba peruntungan lewat LPDP, saat pendaftaran masih dibuka 4 gelombang dalam setahun. Sekali lagi, saya mulai persiapan dari awal, riset jurusan dan kampus yang berbeda, lalu mempersiapkan semua berkas pendaftaran kampus sekaligus LPDP. Sedikit terbawa romansa Erasmus Mundus, saya memilih joint-degree Master of Education di Finlandia dan Jerman. Menurut saya, opportunity untuk mendapatkan beasiswa LPDP cukup besar mengingat kuota yang dialokasikan. Namun, satu hal luput dari saya: procrastination saya kumat lagi! Seperti biasa, dia datang dengan teman satu paketnya: perfeksionis. Saya perlu memastikan semuanya "sempurna" hingga baru bisa mengumpulkan berkas di hari terakhir pendaftaran, dimana masalah klasik terjadi, server down! Alhasil, file saya baru terunggah pukul 00.05, lewat 5 menit dari batas pendaftaran. Yak, LIMA MENIT! Bisa dibilang, kali ini saya gugur sebelum bertarung. Percobaan pertama dan kedua gagal, saya mengevaluasi diri. Saya tidak boleh lengah lagi, harus mencari kesempatan yang tepat dan memiliki persiapan yang matang. Maka tahun 2015-2017 pun saya merasakan jatuh-bangun seperti Kristina, berkali-kali! Kristina mengingatkan sekali lagi, percuma saja punya mimpi kuliah di luar negeri kalau baru mencoba dua kali saja sudah nyerah. Total dalam kurun waktu 4 tahun, ada 8 beasiswa S2 yang saya coba, bermodal muka tembok minta surat rekomendasi ke dosen dan atasan berkali-kali. Alhamdulillah, setelah 7x gagal, doa saya terjawab di usaha kedelapan. Bayangkan kalau saya menyerah ketika percobaan ketujuh, padahal selangkah lagi saya mendapatkan yang saya harapkan. Kita tidak pernah tahu, pada usaha keberapa kita akan berhasil kalau kita tidak terus mencobanya, ya kan? Oiya, setelah berhasil mendapatkan beasiswa LPDP di tahun 2017, perjuangan belum selesai lho karena masih ada drama pemilihan universitas. Tunggu di post berikutnya, ya!
0 Comments
Leave a Reply. |
Archives
January 2019
Categories
All
AuthorNajib chooses a path to be an educator, just like two Indonesian prominent scholars whose names combined into his, which are Prof. Nurcholis Majid & Emha Ainun Najib. Had been teaching Primary level students in Ananda (2013-2015) & Al-Jabr Islamic School (2015-2018), he is currently pursuing his Master's degree in University College London, majoring Curriculum, Pedagogy and Assessment. |