Kita tentu sering mendengar banyak asumsi beredar mengenai guru di Indonesia; sebagian besar menggaris bawahi rendahnya kualitas guru-guru tersebut. Apakah memang separah itu?
Faktanya, berdasarkan data UNESCO dalam Global Education Monitoring (GEM) Report 2016 yang dilansir dari RuangGuru, jumlah guru di Indonesia sudah mencapai 3.9 juta; sayangnya kualitas guru kita menempati ukuran ke-14 dari 14 negara berkembang di dunia. Sebanyak 25% guru belum memenuhi syarat kualifikasi akademik dan 52% di antaranya belum memiliki sertifikat profesi. Mungkin kamu bisa bilang, menjadi guru bukankah sebuah panggilan hati? Asalkan cinta anak-anak dan suka mengajar, seseorang sudah bisa jadi guru yang baik donk. Betul memang, dua sifat tersebut salah satu modal yang bagus untuk menjadi guru. Namun, tentunya, jika seorang calon guru mendapatkan pendidikan yang memadai sebelum terjun ke medan kelas, kemampuan dan kepercayaan dirinya akan meningkat berkali lipat. Pertanyaan selanjutnya, seperti apakah pendidikan guru yang baik? Apakah sekolah keguruan yang ada saat ini sudah berkualitas?
Untuk menjawab pertanyaan kedua, saya akan mengutip slides dari Pak Iwan Syahril, dosen saya yang inspiratif dan sekarang aktif mengkaji kebijakan pendidikan di Indonesia. Dalam slides ini, beliau mengupas bagaimana pendidikan guru dari zaman VOC hingga sertifikasi di dekade ini:
Sementara untuk pertanyaan pertama, saya akan berefleksi dari pengalaman saya sendiri. Mengingat saya baru mendapatkan kuliah pendidikan keguruan satu kali, maka refleksi saya ini sedikit banyak akan bersifat subjektif. Semoga bermanfaat, ya!
Saya mendapat gelar sarana pendidikan dari Sampoerna School of Education, yang sekarang sudah berkembang menjadi Faculty of Education, Sampoerna University. Terlepas dari status saya sebagai alumnus kampus tersebut, saya menilai program pendidikan yang mereka terapkan cukup berhasil menciptakan pendidik profesional yang memiliki etos kerja yang baik. Sedikitnya ada 7 poin yang menjadi keunggulan FKIP Sampoerna University tersebut: 1. Dosen-dosen yang berdedikasi. Sebagai pendidik dari para calon pendidik, mereka menunjukkan keteladanan (being role models) dengan antusiasme & kreativitas dalam mengajar, pendekatan yang ramah dan menyenangkan, dan tentunya menularkan semangat menjadi lifelong learner yang mau terus belajar dari siapa saja, termasuk kolega dan murid. 2. Mata kuliah yang terintegrasi, khususnya dalam program Pendidikan Bahasa Inggris (English Language Teaching). Jika di program ELT pada umumnya, mata kuliah Reading, Writing, Speaking diajarkan secara terpisah, di sini semuanya diajarkan secara terpadu/integrated, sesuai dengan perkembangan teori terkini. Beberapa mata kuliah juga unik dan bisa membuka mata mahasiswa agar kelak ketika menjadi guru bisa berpikiran luas, seperti Technology in Language Learning, Environmental Education, Differentiated Instruction to Meet Students with Diverse Needs, dll. Setahu saya, mata kuliah ini juga terus dievaluasi dan diperbarui setiap beberapa tahun sekali untuk menyesuaikan dengan kebutuhan zaman dan dunia pendidikan Indonesia. 3. Penugasan yang bervariasi. Tidak hanya berbentuk tes tertulis saja, namun juga performance-based assessment, seperti exhibition, role-play, membuat bahan ajar interaktif, penulisan jurnal refleksi, ataupun pengiriman artikel ke media massa. Dengan beragam contoh penilaian ini, ketika menjadi guru diharapkan lulusannya dapat mengembangkan terus kreativitas dalam pembelajaran dan penilaian di kelas. 4. School Experience Program. Ini merupakan program unggulan FoE yang membedakannya dengan kampus keguruan lain. Kalau biasanya program PPL baru diberikan di tahun ketiga, di sini sejak semester pertama hingga semester terakhir, mahasiswa sudah merasakan observasi kelas, asistensi guru, hingga mengajar di kelas sesungguhnya. Dengan begitu, ketika terjun ke lapangan kerja, mereka sudah tidak canggung lagi. 5. Penerapan bilingual program. Di zaman ini, kita dituntut untuk bisa menguasai bahasa asing. Di kampus ini, para calon guru mendapat paparan bahasa Inggris melalui buku teks/materi kuliah, interaksi selama kuliah dan juga dosen tamu dari kampus luar negeri, serta kesempatan lainnya. 6. Penguasaan teknologi. Untuk mempersiapkan guru menghadapi siswa dari generasi milenial, tentu harus dibekali dengan keterampilan menguasai teknologi, khususnya di bidang pengajaran. Di sini, mahasiswa calon guru diberi kesempatan mengeksplorasi teknologi yang dapat digunakan untuk penerapan blended learning, flipped classroom, dan lain-lain. 7. Kesempatan bertemu dengan pendidik lain dari seluruh Indonesia. FoE menjadi penyelenggara Educators Sharing Network dan National Education Conference, dimana ratusan guru bertukar pikiran mengenai praktik baik/ide-ide seputar bidang pendidikan. Mahasiswanya, tentu bisa menjadi bagian dari panitia, peserta hingga pembicara. Kesempatan networking seperti ini, paling tidak bisa melatih mereka untuk berkolaborasi dan bertukar pikiran setelah menjadi guru profesional. Tak jarang, setelah mengajar beberapa tahun, seorang guru merasa sudah mahir sehingga enggan berdiskusi dengan rekan sejawat.
0 Comments
Leave a Reply. |
Archives
January 2019
Categories
All
AuthorNajib chooses a path to be an educator, just like two Indonesian prominent scholars whose names combined into his, which are Prof. Nurcholis Majid & Emha Ainun Najib. Had been teaching Primary level students in Ananda (2013-2015) & Al-Jabr Islamic School (2015-2018), he is currently pursuing his Master's degree in University College London, majoring Curriculum, Pedagogy and Assessment. |