Episode sebelumnya: Setelah 8 kali mencoba melamar beasiswa, akhirnya saya berhasil mendapatkan sponsor lewat LPDP. Tapi drama belum selesai. Masih ada episode berikutnya, yaitu kebimbangan memilih kampus. Bagaimana ceritanya? [Siap-siap ya, episode ini panjangnya melebihi sinetron Tersanjung :p] Desember-Januari-Februari adalah bulan-bulan penting untuk para pemburu beasiswa. Banyak sponsor yang membuka pendaftaran di periode ini, sebut saja Fulbright, Turkiye Burslari, Mitsui Bussan, ISRA Global Scholarship dll. Begitu juga dengan kampus-kampus luar negeri yang menetapkan deadline pendaftaran dan/atau pengumuman penerimaan. Nah, kalau sampai bulan ini saya jadi throwback ke masa-masa tahun 2016. Jadi, ceritanya, sejak punya niatan melanjutkan kuliah, Teacher College Columbia University (TCCU) adalah salah satu kampus impian saya. Selain karena reputasinya yang bagus sebagai kampus di bidang pendidikan, saya melihat profil alumninya yang kece-kece. Salah satunya Pak Iwan, dosen wali saya yang memberikan bolpoin dari TC Graduate Teacher Centre (gambar di samping) di tahun 2011 sambil menyemangati saya, "One day, you can bring this pen back to its origin!" Namun, saya belum berani mendaftar ke kampus itu hingga akhir tahun 2016. Desember 2016 saya mulai mengumpulkan berkas, termasuk personal statement/motivation letter dan meminta surat rekomendasi ke dosen saya, Pak Iwan dan Bu Susi. Tanggal 10 Januari 2017, saya akhirnya submit aplikasi saya dan membayar biaya pendaftaran (saat itu 65 USD). Bulan Februari saya mendapat email balasan. Sudah terlanjur girang bukan kepalang, tapi ternyata isinya adalah info kalau berkas saya masih ada yang kurang, hehe. Memang sih, waktu itu ada berkas yang belum saya kumpulkan, yaitu credential evaluation, semacam legalisasi transkrip nilai oleh lembaga akreditasi di Amerika. Berkas semacam ini menjadi syarat wajib kalau mau daftar kampus di US, dan biayanya cukup mahal. Apalagi saya baru saja "bongkar celengan" buat tes IELTS bulan Januari. Mau hutang orang tapi saya urungkan, sebisa mungkin saya hindari hutang pokoknya. Rencananya, sambil mendaftar LPDP gelombang ke-1 di bulan Februari, saya mau kumpulkan uangnya dulu. Nanti kalau lolos beasiswa di bulan April, saya mau ajukan dana untuk bayar credential ke World Education Services itu. Eladhalah, ternyata, LPDP mengeluarkan berita yang bikin kaget se-Indonesia: mulai tahun 2017, LPDP hanya buka satu kali gelombang pendaftaran, dan untuk tujuan Luar Negeri baru dibuka bulan Juni, padahal perkuliahan umumnya dimulai September. Alemong! Mau ngga mau, kalau mau dibiayai LPDP, baru bisa kuliah di tahun 2018. Padahal, di saat yang sama, saya juga sudah mendaftar di University College London, termasuk bayar application fee-nya. Bulan April, alhamdulillah saya mendapat Unconditional Letter of Acceptance (LoA) dari UCL, tapi saya belum memutuskan untuk ambil mengingat belum jelasnya sumber dana waktu itu. Ya kali, jual ginjal buat bayar kuliah yang setara dengan rumah tipe 36/72 di daerah Bekasi! Akhirnya, saya mencoba peruntungan lewat beasiswa dari kampus, tapi pun gagal. Bulan Juni 2017, saya diingatkan lagi oleh UCL bahwa saya harus mengambil keputusan. Akhirnya, saya mengajukan deferral/penundaan untuk satu tahun. Alhamdulillah, diperbolehkan. Selang beberapa hari, datanglah email dari TCCU, mengabarkan berita duka. Pendaftaran saya ditolak karena berkas credential evaluation belum juga sampai. Sedih kalau diceritain mah, sudah mengumpulkan uang buat kirim berkas ke Amerika, begitu terkumpul diberi kabar begitu. Untunglah, setelah berkorespondensi dengan pihak kampus, saya diperbolehkan melanjutkan aplikasi yang dulu dan dipindahkan ke gelombang 2019. Mulailah saya mengurus pengajuan transkrip baru ke kampus (sesuai template WES), dan akhirnya bulan berikutnya sudah terkirim ke WES. Singkat cerita, bulan Desember 2017 akhirnya diumumkanlah bahwa saya diterima di TCCU jurusan Curriculum and Teaching. Namun, untuk mengamankan kursi untuk gelombang Spring, saya harus membayar deposit fee senilai 300 USD. Tak mau mengulang kejadian WES, saya langsung bayar hari itu juga (bukan dengan ginjal tentunya, ^^). Akhir tahun 2017 saya tutup dengan kabar gembira, lolos LPDP dan diterima di kampus idaman. Tersisa satu PR: mengajukan perpindahan kampus ke LPDP, mengingat saya mengumpulkan berkas pendaftaran dengan LoA dari UCL. Saya mengirim surat pengajuan bulan Februari 2018 dan mendapat jawaban di bulan April: DITOLAK. Tanpa ada penjelasan di balik keputusan itu. Saking penasarannya, saya email tim LPDP tapi tak ada jawaban. Di titik itu, saya sudah mulai mengubah mindset saya bahwa saya akan kuliah di UK. Tapi tiba-tiba, ada tawaran dari staf EducationUSA, untuk membantu advokasi ke LPDP agar saya (dan beberapa calon mahasiswa di kampus US) bisa diperbolehkan pindah. Long story short, proses negosiasi itu memakan waktu yang cukup lama, dan yang membuat saya kaget, langsung ditangani oleh Dubes Amerika untuk Indonesia, Pak Joseph Donovan! *mata berkaca-kaca* Sayangnya, pernegosiasian ini terpotong lebaran 2018, saat dimana saudara dan handai taulan menanyakan berbagai masalah pribadi, mulai dari Kapan Nikah sampai Kapan Capres Punya Cucu. Saat itu, saya paling bingung kalau ditanya, mau kuliah dimana? UK? US? Sampai ada yang bilang, kalau bingung pilih UKS aja! Mungkin ada di antara netizen yang berpikir kalau saya ngotot mau kuliah di TCCU biar bisa sekampus sama Tasya Kamila. Tapi, NO! Selain alasan di atas, mata kuliah di sana lebih banyak (setahun bisa ambil 8 courses, sedangkan di UCL 'cuma' 4 mata kuliah saja), lebih beragam, aplikatif, dan yang pasti ada teaching practicum di sekolah di New York City.
"Hey! Sudah bulan Juli 2018, tentukan pilihanmu sekarang, atau ngga dapat dua-duanya. Now or Never!" kataku pada diri sendiri. Akhirnya, setelah berkontemplasi dan minta pencerahan sana-sini, saya bulatkan tekad untuk melepas TCCU. Insya Allah, kalaupun berjodoh ya akan dipertemukan suatu hari nanti. Sekarang, waktunya menatap yang ada di hadapan mata. Perkuliahan di UCL mulai bulan September 2018 dan saya belum mengurus berkas apapun, Visa, akomodasi, tiket pesawat dll. Gila! Alhamdulillah, semuanya dimudahkan oleh Allah, dan tanggal 15 September 2018 saya berangkat ke London. Apakah saya menyesal berkuliah di sini? TIDAK, SAMA SEKALI! Hanya orang kurang syukur yang merasa begitu. Alhamdulillah, Puji Tuhan, saya betah tinggal di London. Walaupun masa-masa awal kuliah terasa seperti alien yang dipaksa ikut marathon di planet yang minim oksigen (sampai sekarang sih engapnya), tapi di sini ada teman-teman yang saling menguatkan. The Struggling Squad, kami menyebutnya. Mungkin kalau saya jadi berkuliah di sana, saya bisa lebih engap lagi karena beban kuliah lebih banyak, dan pastinya biaya hidup di sana lebih mahal dibanding London. Terima kasih sudah meluangkan waktu membaca naskah sinetron ini. Semoga ada pelajaran yang bisa dipetik dari kisah berliku-liku ini. Tulis di komen ya, pesan moralnya!
2 Comments
Najib
2/3/2019 04:20:59 am
Makasih Yaya... emang ini naskah sinetron kan? 😄 Tapi buat Travelpreneur "YAY!" ke luar negeri sih gampang lah, ga harus #KerjaLemburBagaiKudaSampaiLupaOrangTua
Reply
Leave a Reply. |
Archives
January 2019
Categories
All
AuthorNajib chooses a path to be an educator, just like two Indonesian prominent scholars whose names combined into his, which are Prof. Nurcholis Majid & Emha Ainun Najib. Had been teaching Primary level students in Ananda (2013-2015) & Al-Jabr Islamic School (2015-2018), he is currently pursuing his Master's degree in University College London, majoring Curriculum, Pedagogy and Assessment. |